Rabu, 17 Juni 2015

KEARIFAN LOKAL LAMPUNG

KEARIFAN LOKAL LAMPUNG*
Oleh
Drs. Abdul Syani, M.IP.**


I.  PENDAHULUAN

Masing-masing etnis dalam masyarakat multicultural memiliki kearifan lokal sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain sebagai saudara (adat muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa terkenal dengan tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletannya dalam usaha. Demikian juga etnis-etnis lain seperti, Minang, Aceh,  Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan masyarakat, sehingga kemudian mentradisi dan melekat kuat dalam sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.

Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya lokal. Keanekaragaman budaya juga merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Warisan budaya dan nilai-nilai tradisional ini mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan agar nilai-nilai kearifan lokal tetap relevan dengan kemajuan jaman. Diharapkan para tokoh / penyimbang adat lebih arif dalam bertahan terhadap derasnya tekanan budaya asing, mampu mengakomodasi dan mengintegrasikan unsur-unsur budaya asing yang relevan ke dalam budaya lokal, mampu mengendalikan dan memberi arah pada pengayaan budaya lokal.

Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.

________________________

* Disampaikan pada kegiatan Diklat Mahasiswa Penerima Bantuan Biaya Pendidikan Bidik Misi Angkatan V Semester I Di Gedung Serba Guna Universitas Lampung, tanggal 06 Desember 2014
** Dosen tetap pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung

Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan formalitas, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.

Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahtaraan bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan, kreativitas dan rendahnya minat untuk memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal Lampung falsafah hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya penyimpangan kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada  kepentingan umum. Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan dan menimbun materi. Para elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik seolah membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya sekedar alat untuk memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif sederhana makin tersesat meneladani sikap dan perilaku elit mereka. Akibatnya masyarakat makin lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka kcewa, pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.

Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal, akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif kearifan lokal, di mana  masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur untuk sosialisasikan dan dikembangkan menjadi prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya “Nemui-Nyimah” sebagai kehalusan budi diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus disebarluaskan dan dibumikan ke dalam seluruh kehidupan masyarakat agar dapat menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan  Piil Pesenggiri  merupakan aset (modal, kekayaan) budaya bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan untuk  meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.

Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup.

Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan, dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan, setiap elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai sebuah kesatuan yang harmonis.

Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak. Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindaklanjuti arah perubahan kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak yang dikorbankan.

Oleh karena itu, dalam makalah ini perlu dikaji tentang pengertian kearifan lokal piil pesenggiri dan implementasinya yang berkaitan dengan regulasi penataan harmonisasi kehidupan masyarakat, dapat diakomodasikan dengan baik dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan kesejehtaraan dan keadilan sosial.

II.  KEARIFAN LOKAL LAMPUNG DAN IMPLENTASINYA

1.  Pengertian Kearifan Lokal

Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).

2.  Piil Pesenggiri dan Implentasinya

Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas mengandung nilai budaya luhur adalah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan hidup masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang memiliki  Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.

Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu mendorong orang untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.

Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip kehormatan) selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna. Juluk adek (terprogram, keberhasilan), nemui nyimah (prinsip ramah, terbuka dan saling menghargai), nengah nyappur (prinsip suka bergaul, terjun dalam masyarakat, kebersamaan, kesetaraan),  dan sakai sambaian (prinsip kerjasama, kebersamaan). Sementara itu bagi masyarakat adat Lampung Saibatin menempatkan Piil Pesenggiri dalam beberapa unsur, yaitu: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).

Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan  mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain.

Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif  kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).

Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Juluk-Adek (adok)
Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri. Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan. Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya. b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran. Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku. Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain. c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif. Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan. Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna. d. Sakai-Sambaiyan
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan. Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya. Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Sakai sembayan senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.

Kecuali itu, kearifan lokal Lampung adalah “adat muwakhi” (mewarei=bersaudara=pepadun), yang secara etimologi berarti bersaudara atau adat persaudaraan dalam hubungan sosial. Muwakhi berasal dari kata puwakhi yang artinya saudara sekandung, dan saudara sepupu dari garis pihak bapak maupun ibu. Muwakhi merupakan nilai dasar etika sosial dilandasi falsafah hidup Piil Pesenggiri. Oleh karena itu perlu dilestarikan, dipelihara, dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat.

Ada 3 (tiga) alasan utama dilakukan kegiatan adat muwakhi (muwari) tersebut, yaitu:
(1) Karena/atas dasar hubungan yang sangat baik, misalnya:
a. Terselamatnya jiwa/kehormatan seseorang dalam suatu peristiwa tertentu;
b. Hubungan pertemanan/persahabatan yang sudah sangat lama pada saat sekolah, sekantor, sepemukiman dan sebagainya.
(2) Karena alasan telah terjadi suatu peristiwa yang kurang baik misal pertikaian dimana seseorang/beberapa orang terbunuh kecelakaan;
(3) Karena hubungan perkawinan keluarga Lampung dengan masyarakat luar Lampung.

Kegiatan mewarei ini pada hakekatnya melalui beberapa tahapan, setelah terjadi suatu peristiwa yang didukung niat yang luhur dan kemampuan dari kedua belah pihak guna penyelesaian konflik yang terjadi atau penegasan status/posisi mereka dalam suatu tatanan masyarakat adat tertentu.
Karena peristiwa mewarei ini akan berpedoman pada status hirarki dan status dalam keluarga dan masyarakat status maka pedoman awal yang digunakan adalah status pihak yang berinisiatif dalam masyarakat adat yang bersangkutan. Status pihak yang dimaksud adalah kedudukan pihak yang berinisiatif dalam masyarakat adatnya, secara tegas apakah yang bersangkutan berstatus sebagai punyimbang atau bukan.
Keadaan demikian ini sangat penting sebab pihak yang baru akan menyesuaikan dengan status kekeluargaan yang telah ada, dan keluarga yang berinisiatif akan menata ulang susunan kekeluargaannya.
Penataan ulang ini pada prinsipnya tidak boleh melampaui susunan kekeluaraan yang sudah ada, atau menjelaskan diantara susunan yang sudah ada secara biologis, walaupun pada kenyataan pihak yang baru umumnya lebih tua dari pihak yang berinisiatif.
Ternyata bukan hanya orang Lampung memiliki piil pesenggiri, di Batak ada dalihan na tolu, di Padang ada adat basendi syara, syara bersendi Kitabullah, Banten ada kiyai dan jawara, di Madura ada carok, di Bugis ada syiri.

Di Jawa, lebih banyak lagi ragam nilai-nilai budaya yang senantiasa dijadikan pedoman hidup; ada  2 (dua) pedoman hidup orang jawa yang populer dari sekitar 10 (sepuluh) lebih yang ada, yaitu:

tri ojo (ojo kagetan/jangan gampang kaget/tawaqkal, ojo gumunan/jangan mudah eran/arif/bijak, dan ojo dumeh/jangan mentang2/rendah hati).
sugih tampo bondo (kaya tanpa didasari kebendaan), digdoyo/sekti tanpo aji (berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan/kekuatan), ngluruk tampo bolo (berjuangan tanpa perlu membawa massa), dan menang tampo ngasorake (menang tanpa mempermalukan/merendahkan yang lain).
Oleh karena itu, maka para aparat pemerintah tidak boleh pamer kekayaan (sugih tampo bondo), jangan unjuk kekuasaan (digdoyo tampo aji), jangan terlalu demonstratif dalam tindakan persuasif (ngluruk tampo bolo), dan jangan terlalu unjuk kemenangan (menang tampo ngasorake). Konsep ini dirumuskan para bangsawan, tetapi apa arti kebangsawanannya tanpa rakyat. Karena itu, rakyat tidak boleh disakiti. Tetapi kenyataannya banyak rakyat ditekan sedemikian rupa, dilarang unjuk pendapat, unjuk rasa, atau protes atas kebijakan yang sepihak. Di pihak lain ada budaya pepe dalam kehidupan masyarakat jawa, apabila ada resi yang protes atas kebijakan orang istana, ia harus menjemur dirinya (pepe), menentang matahari di alun alun dan jalan menuju istana. Nanti akan datang hulubalang yang akan menanyakan, protes perihal apa hingga ia menjemur diri, menentang mata hari. Barulah disampaikan protes dan ujuk pendapat secara baik. Maka, muncul istilah di kultur Jawa yaitu jo ngidoni Srengenge (jangan meludahi mata hari).
Karena itu apa yang dimaksud kebudayaan secara ideal pasti berkaitan dengan cita-cita hidup, sikap mental, semangat tertentu seperti semangat belajar, ethos kerja, motif ekonomi, politik dan hasrat-hasrat tertentu dalam membangun jaringan organisasi, komunikasi dan pendidikan dalam semua bidang kehidupan. Kebudayaan merupakan jaringan kompleks dari symbol-ssimbol dengan maknanya yang dibangun masyarakat dalam sejarah suatu komunitas yang disebut etnik atau bangsa.
Dengan cara pandang seperti itu, dapat dipahami mengapa negara dituntut memenuhi kewajibannya untuk merawat, memelihara, mengembangkan dan menghidupkan kebudayaan yang telah ada dalam sejarah masyarakat. Pemeliharan dan pengembangan itu diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-formal, dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan keuangan, sarana dan prasarana, serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar kebudayaan berkembang dan selalu tumbuh dengan sehat.
Dalam prakteknya kearifan lokal itu harus memiliki keinginan yang membumi untuk memerangi semua bentuk penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM. Artinya, harus berusaha mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran akibat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Perilaku korupsi, menggelapkan uang negara, memanfaatkan segala fasilitas dalam lingkup kekuasaannya demi memperkaya diri, berprilaku sewenang-wenang dalam menjalankan roda kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain contohnya gemar menerima sogokan, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.

III.  SIMPULAN
Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang terkandung di dalam kearifan lokal itu umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi dengan baik. Di samping itu ada norma-norma sosial, baik yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu yang perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu dikembangkan suatu bentuk knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal tersebut agar dapat digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan  dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.

Modal dasar bagi segenap elit dan segenap agen pembaharu bangsa adalah  perlu adanya ketulusan untuk mengakui kelemahan, ikhlas membuang egoisme, keserakahan,  bersedia menggali kekuatan nilai-nilai budaya yang ada pada kelompok masyarakat daerah masing-masing, dan bersedia berbagi dengan pihak lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan harus mampu menjadi garda depan, bukan sekedar bisa berbicara dalam janji, tapi harus mampu memberikan bukti tindakan nyata dalam bentuk keberpihakan pada kepentingan masyarakat. Harapannya adalah untuk menyatukan gerak langkah antara satu sama lain, masyarakat bersama-sama menggali sumber kehidupan secara arif dan bijak, sehingga ada jalan menuju kehidupan yang lebih baik, damai, adil dan sejahtera. Diharapkan para tokoh / penyimbang adat, budayawan, pemerintah, akademisi dam lembaga-lembaga terkait dapat  lebih arif dalam menghadapi derasnya tekanan budaya asing, mampu mengakomodasi dan mengintegrasikan unsur-unsur budaya asing yang relevan ke dalam budaya lokal, mampu mengendalikan dan memberi arah pada pengayaan budaya lokal.

Upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif nilai-nilai kearifan lokal. Keterbukaan dikembangkan menjadi kejujuran dalarn setiap aktualisasi pergaulan, pekerjaan dan pembangunan, beserta nilai-nilai budaya lain yang menyertainya. Budi pekerti dan norma kesopanan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Ketulusan, memang perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Dari ketulusan, seluruh elemen bangsa yang majernuk masing-masing merajut kebhinnekaan, kemudian menjadikannya sebagai semangat nasionalisme yang kokoh. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.

Kemudian diperlukan proses pelembagaan yang harus dikembangkan agar proses pembangunan nasional dapat melahirkan keseimbangan, pemerataan dan pertumbuhan ekonomi, memberi keleluasaan terhadap partisipasi masyarakat, mendukung proses komunikasi dan membuka ruang publik, mendorong munculnya pernerintah yang terorganisasi dengan baik dan sangat responsif, serta mempercepat lahirnya elit yang matang dan fleksibel dalam berpolitik.


REFERENSI
Abdul Syani, 2010. (http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
_________, 2012. Nilai Nilai Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Ridwan, N. A. (2007) ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus